Jumat, 23 Maret 2012

PENELITI ILMIAH, UPANYA MENGHADAPI TANTANGAN TEKNOLOGI MASA DEPAN Oleh : Rahmad Kadry


Teknologi Informasi merupakan kebutuhan yang sangat urgen, bahkan tidak bisa dipisahkan dari setiap lini kehidupan manusia, Misalkannya saja, radio, televisi, telepon genggam, komputer dan sebagainya, itu semua merupakan produk TI yang tak lain diciptakan ialah untuk mempermudah pekerjaan manusia. Saat ini, persentase jumlah lulusan sarjana teknik di Indonesia masih rendah, yakni hanya 11 persen dari total jumlah lulusan perguruan tinggi tiap tahunnya. Jumlah tersebut ditargetkan naik menjadi 15 persen pada 2015. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh mengatakan, di negara maju jumlahnya sudah 20 persen dan Malaysia sudah mencapai angka itu. Jumlah sarjana teknik perlu ditingkatkan untuk mendukung pembangunan nasional. Ini penting, mengingat kebutuhan untuk menggerakkan ekonomi, di tengah majunya industri dan infrastruktur di Indonesia sangat tinggi[1].
            Sayangnya, kebanyakan dari kita hanya berstatus sebagai konsumen dari produk-produk TI tersebut, bukan sebagai pengembang teknologi. Padahal sebelumnya negara kita sempat dikenal sebagai salah satu pionir di bidang telekomunikasi dengan digunakannya satelit Palapa. Indonesia sebagai negara ketiga yang memiliki satelit telekomunikasi. Saat ini, dengan semakin banyaknya jumlah pengguna telepon seluler dan akan terus bertambah, maka sudah seharusnya kita tetap menjadi pelopor. Kenyataannya kita hanya sebagai konsumen, dengan Mengimpor teknologi telekomunikasi dari luar negeri. Ini merupakan tantangan bagi generasi muda Indonesia untuk lebih maju membangun teknologi dengan mengadakan berbagai riset.
Di tengah-tengah budaya hedonisme yang semakin akut dan tingkat konsumerisme terhadap produk-produk teknologi semakin tinggi, penguasaan sains dan teknologi diharapkan dapat menjadi kunci untuk meningkatkan kualitas hidup kita dan dapat meningkatkan perekonomian negara, sebagaimana yang di ungkapkan oleh Chong Moon Lee, salah seorang pengamat teknologi dan ekonomi, beliau mengatakan bahwa ada tiga cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi antara lain sebagai berikut :
1.      Meningkatkan dan memperkuat faktor input dari tenaga kerja (labour) dan capital;
2.      Melalui perdagangan dan keuntungan komparatif (misalnya melalui spesialisasi);
3.      Melalui inovasi dan entrepreneurship[2].
Dari pendapat yang di ungkapkan oleh Chong-moon lee di atas, mari kita fokuskan kepada faktor yang terakhir, yaitu bagaimana kita mengembangkan inovasi dan entrepreneurship. Untuk sementara ini lupakan dahulu entrepreneurship karena merupakan pokok bahasan tersendiri. Inovasi muncul dari riset. Jika kita ingin menterjemahkan “riset” sebagai seorang purist, maka riset seharusnya difokuskan kepada hal yang sifatnya teoritis atau penelitian murni atau sains. Namun seringkali kita menggunakan kata riset untuk hal-hal yang lebih umum, termasuk di dalamnya adalah istilah applied research. Sebetulnya selain research ada development (pengembangan). Sains terkait dengan riset, sementara teknologi lebih ke arah pengembangan. Inilah mengapa masa depan Indonesia ditentukan oleh sains dan teknologi.  
Ada beberapa hal yang menurut penulis perlu dikembangkan dalam kaitannya dengan dunia penelitian di Indonesia, antara lain:
Pertama, menghidupkan pertemuan ilmiah, ini salah satu cara yang efektif dalam meningkatkan riset yang dapat memberi wawasan yang luas dan dapat bertukar pikiran antara satu sama lain. Kita ketahui bahwa di negara maju seperti Jepang, pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh komunitas ilmiah merupakan hal yang sangat lumrah bahkan bagi mahasiswa S1 sekalipun.
Selain dapat merangsang (meningkatkan/membakar) semangat meneliti (penelitian), pertemuan ilmiah oleh komunitas ilmu tertentu akan dapat membantu mahasiswa dan peneliti mengetahui perkembangan terbaru dari riset di bidangnya.. Selain itu pertemuan ilmiah yang juga menjadi ajang yang sangat penting demi terbangunnya kerja sama antar satu komunitas degan komunitas lainya .
Kedua, mendorong terjadinya sinergi antar laboratorium. Adalah hal yang kita ketahui bersama bahwa pendanaan merupakan kendala terbesar bagi kemajuan riset di Indonesia, bahkan negara negara maju sekalipun mempunyai masalah yang sama seperti Indonesia. Dengan adanya keterbatasan tersebut, selayaknya dilakukan kerjasama dari dua atau bahkan beberapa laboratorium untuk mengatasi keterbatasan yang ada. Kerja sama antar laboratorium juga akan mampu menekan penelitian yang berulang yang sebenarnya telah dilakukan oleh salah satu laboratorium.
Ketiga, mengembangkan jurnal-jurnal ilmiah di tanah air. Saat ini sebenarnya sudah ada beberapa jurnal ilmiah yang dikelola oleh komunitas ilmiah. Meskipun begitu komunitas tersebut tidak terlalu hidup kecuali sebatas pengurus komunitas ilmiahnya, disamping masalah pendanaan yang tidak jarang membuat sebuah jurnal ilmiah kemudian mati suri. Padahal keberadaan sebuah jurnal ilmiah yang terbit secara berkala merupakan suatu pendukung keberadaan riset pada bidang tersebut. Jurnal ilmiah juga bisa menjadi wahana saling bertukar informasi yang efektif pada sebuah bidang ilmu pengetahuan maupun ilmu pengetahuan lainya.
Menghidupkan jurnal ilmiah akan menjadi satu jalan penting untuk kebangkitan IPTEK di Indonesia. Berbagai cara sebenarnya bisa dilakukan untuk mewujudkan hal ini mulai dari dimasukkannya poin penilaian secara khusus bagi peneliti yang mampu mempublikasikan hasil riset/penelitiannya di jurnal ilmiah, menjadikan syarat publikasi jurnal untuk mendapatkan gelar sarjana. Di beberapa negara maju syarat publikasi jurnal ilmiah ditetapkan kepada mahasiswa selain untuk menambah wawasan mahasiswa terhadap akan bidang yang ditelitinya, juga untuk mengetahui sejauh mana penilaian terhadap hasil penelitiannya dari peneliti lain melalui penguji dari jurnal ilmiah tersebut.
Keempat, membuat prioritas penelitian. Meskipun dalam rencana strategis IPTEKNAS sudah diletakkan beberapa prioritas pokok Iptek yang akan dikembangkan di Indonesia, tetapi tetap saja arah penelitian yang berkembang baik di universitas maupun di lembaga penelitian belum mampu menciptakan sebuah trade mark tersendiri apa yang menjadi kompetensi bangsa Indonesia. Berbeda dengan Singapura, yang meskipun sudah maju dari sisi penelitian, Singapura tetapi tetap memiliki prioritas di bidang Bioteknologi.
Masing-masing peneliti di lembaga penelitian di Indonesia kebanyakan hanya bekerja sendiri tanpa adanya sinergi dengan peneliti-peneliti lain untuk memfokuskan pada satu bidang yang diteliti. Sehingga wajar kalau kita kesulitan ketika meraba ada di mana kompetensi dari sebuah lembaga riset atau sebuah departemen di universitas misalnya. Kondisi ini bisa jadi disebabkan karena masih lemahnya arahan pemerintah tentang fokus penelitian.
Selain itu dana yang dianggarkan pemerintah untuk penelitian masih sangat jauh dari kata cukup dibanding dengan negara-negara maju. Sedikit dana tersebut kemudian disebar merata ke banyak kelompok peneliti, namun pada akhirnya dana yang relatif kecil tersebut tidak cukup produktif untuk menghasilkan sebuah penelitian yang berkualitas.

Saran
Untuk memajukan sains dan teknologi yang sesuai dengan negara  berkembang, maka perlu adanya riset yang handal, dan untuk mengadakan riset yang handal tersebut tentu saja memerlukan dukungan dari seluruh pihak, baik itu akademisi, praktisi maupun dari pemerintah sebagai birokrasi, di sinilah saatnya pemerintah ikut  berperan aktif terhadap permasalahan yang dihadapi oleh para peneliti, demi terciptanya peneliti yang handal dan tidak menutup kemungkinan mengalahkan teknologi dan sains negara negara yang berkembang.



[2]Chong-Moon Lee (eds.), "The Silicon Valley Edge: a habitat for innovation and entrepreneurship," Stanford University Press, 2000